Mari kita bayangkan para anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai juri kontes menyanyi yang sedang ramai di stasiun-stasiun televisi kita itu. Dan sistem pemilihan presiden, gubernur, walikota dan bupati itu kita ganti juga, persis seperti sistem pemilihan idola-idolaan itu.
Saya jamin sistem ini jauh lebih murah, dan kita tidak usah cemas dengan rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Asal acara pemilihan itu disiarkan langsung pada jam tayang utama, dibawakan oleh pembawa acara yang kocak.
Kalau boleh usul saya mengajukan dua nama: Olga Saputra dan Ruben Onsu. Kenapa tidak Eko Patrio? Atau Daniel Mananta? Eko sudah terlalu lama ngelaba, humor-humornya sudah kurang daya gelitik. Daniel? Ah, terlalu anak nongkrong, kurang dangdut. Jangan protes dululah, setuju saja sama pilihan saya, Olga dan Ruben. Mari kita lanjutkan aturan mainnya.
1. Calon pemimpin dipilih dengan audisi.
Audisinya tentu saja dilakukan di semua ibukota provinsi. Tim Audisi bergerak serentak. Di sinilah peran partai. Peserta audisi harus mendaftar lewat partai. Ya, calon independen tentu juga boleh ikut. Tapi, risikonya dia harus menyediakan dana sendiri untuk mengumpulkan dukungan lewat SMS nanti. Kalau lewat partai, maka otomatis nanti para kader partailah yang mengirim SMS. Misalnya kalau saya jadi calon, maka dukungan berupa SMS dengan mengetik REG (spasi) HASAN kirim ke 6666.
2. Apa materi utama ujiannya? Menyanyi dan harus dangdut
Kenapa dangdut? Lho, bukankah dangdut is the music of our country, man? Pemimpin yang baik harus bisa menjadikan dangdut sebagai duta bangsa. Dangdut harus menjadi komoditas ekspor di sektor budaya. Dangdut harus menjadi musik yang mendunia seperti reggae dari Jamaika, atau samba dari Brazil. Kenapa dangdut tidak? Apa bedanya reggae, samba dengan dangdut.
Bayangkan prospeknya. Bila seluruh dunia keranjingan dangdut, maka ada permintaan penyanyi dan pemusik dangdut yang besar sekali. Berapa jumlah kafe, bar atau music lounge di dunia?
Ah, saya yakin kalau kita memenuhi permintaan Amerika saja, maka kita harus menarik semua TKW, melatihnya menjadi penyanyi dangdut dan mengirimnya lagi sebagai penghibur terlatih. Ini pekerjaan terhormat.
Posisi tawar negara ini akan luar biasa kuatnya. Kalau China mengembargo ekspor ikan kita, misalnya, maka kita tarik saja semua penyanyi dangdut yang berada di sana, maka dijamin, dalam jangka waktu yang tidak lama, tingkat stress warga negari itu meningkat tajam. Lantas presidennya pun mengutus Menteri Kebudayaan dan Hiburan untuk merayu presiden kita akan membuka lagi keran ekspor penyanyi dangdut.
Nah, pemimpin kita harus bisa menyanyi dangdut. Ini cara mudah untuk menduniakan Bahasa Indonesia. Dangdut tak pas kalau tidak dinyanyikan dalam lirik berbahasa Indonesia.
Coba bayangkan bagaimana menerjemahkan dan menyanyikan lirik lagu Meggy Z sungguh teganya teganya teganya teganya teganya teganya …. di dalam bahasa Inggris? Atau China? Atau Belanda? Atau Prancis? Atau Jerman? Saya tak bisa membayangkan!
Di dalam negeri efeknya juga luar biasa. Akan ada SMK jurusan Dangdut. Tiga tahun siap pakai dan siap didangdutkan di seluruh dunia. Tidak akan ada lagi penyanyi yang mati mata pencahariannya karena dilarang bupati tampil seperti Dewi Persik itu. Toh, dia bisa tampil di mana saja di seluruh dunia?
Akan ada industri garmen khusus menghasilkan kostum dangdut. Kita lihat nanti para remaja Jepang akan berdandan ala pedangdut kita di kawasan Harajuku, bukan sebaliknya. Orang-orang di seluruh dunia akan mengunduh RBT dangdut. Penjualan poster pada pedangdut kita meningkat dan itu artinya industri percetakan akan panen besar. Bayangkan, saudara. Bayangkan.
3. Nah, sekarang kita sampai pada babak spektakuler
Kalau dalam pemilu biasa waktu mencoblosnya hanya satu hari, maka dalam sistem ini, semua calon harus mengikuti waktu pemilihan yang lama. Tiap minggu satu calon tereliminasi. Pada babak inilah, para anggota KPU kita itu berperan, persis seperti juri idola-idolaan itu.
Siapakah nama yang saya usulkan? Anang Hermansyah tidak masuk bursa. Nama yang cocok untuk menggantikannya adalah A Rafiq. Indra Lesmana tidak terpakai, karena kalah bersaing dengan jagoan saya: Jaja Miharja. Titi DJ? Ah, apa bisa dia mengalahkan kedangdutan Hajjah Elvi Sukaesih?
Konon Ratu dangdut kita ini bernafas, batuk dan bersin pun cengkoknya dangdut. Saya tidak pernah mendengar tapi konon kabarnya kalau Mama Elvi kita ini bersin maka suaranya seperti ini: hatsyi, hatsyi, hatsyiiiiii (coba bersinkan seperti Anda sedang menyanyikan lagu Helo Dangdut)
Dan best of the best of the best siapa lagi kalau bukan: Rhoma Irama.
Para calon pemimpin harus membawakan lagu wajib Dangdut Is The Music of My Country dan salah satu lagu Rhoma Irama yang ada syairnya ..dangdut suara gendang rasa ingin berdendang. Judulnya? Ya, betul itu. Anda memang layak ikut kontes ini. Calon pemimpin juga harus membawakan lagu sendiri, yang tentu saja boleh diciptakan oleh tim sukses mereka.
4. Salah satu materi ujian persis seperti acara Akhirnya Datang Juga
Ya, seperti yang disiarkan Trans TV tiap Rabu malam. Calon pemimpin kita itu dihadapkan pada situasi yang tidak terduga. Misalnya? Bagaimana mereka bersikap ketika sedang duduk-duduk di lobi hotel, lalu tiba-tiba datang anggota KPK menangkap mereka.
Mereka juga harus diuji bagaimana kepiawaian mereka melobi anggota DPR, ketika sebuah kebijakan terkendala keputusan lembaga itu.
Mereka juga harus dites bagaimana caranya menjawab ketika diperiksa oleh KPK. Pokoknya, semua persyaratan seorang pemimpin saat ini harus dikuasai, dan itu ditunjukkan kepada penonton televisi, sekaligus para pemilih ya kita-kita ini.
5. Para calon pemimpin kita harus menciptakan rekor MURI
Ini penting. Catatan pencapaian dalam Museum Rekor Indonesia (MURI) jauh lebih menarik daripada penghargaan lain seperti Anugerah Adipura atau Satya Lencana, Konon para juri MURI itu tidak bisa disogok karena Jaya Suprana di penggagas itu sudah sangat kaya dari penghasilan sebagai pengusaha jamu. Lagi pula, gelar kota terbersih, atau kesetiaan mengabdi pada negara bisa juga dicatat sebagai rekor, bukan?
6. Para calon pemimpin kita itu harus pakai batik
Kenapa batik? Pertama, supaya tidak diakui oleh negara tetangga lagi. Kedua, batik lebih cocok dengan iklim Indonesia. Indonesia akan mengalami krisis listrik karena gas habisi diijon oleh Singapura, batubara habis dikontrak beli oleh China, dan minyak? Pun sudah dibayar depan oleh Amerika.
Jadi, Istana Negara, Kantor Bupati, dan Ruang Rapat DPR tidak boleh pakai AC. Bayangkan betapa panasnya kalau dalam ruangan tanpa AC itu pemimpin kita rapat dengan jas dan dasi mencekik leher.
Maka, tak ada pilihan: batik. Dan hanya batik. Biarlah, nanti dalam kontes pemilihan pemimpin itu Madam Ivan Gunawan saja yang jadi juri. Oke, oke, Iwan Tirta memang pakar batik, tapi dia tidak menghibur kalau harus dia yang jadi anggota KPU eh juri kontes kita itu.***
BATAM Pos